Media Sosial Vs Media Syok-Sial

| 𝕿𝖊𝖗𝖎𝖒𝖆𝖐𝖆𝖘𝖎𝖍 𝕵𝖆𝖉𝖎 𝕻𝖊𝖒𝖇𝖆𝖈𝖆 𝕾𝖊𝖙𝖎𝖆.

Klik Gambar

Jakarta (HPN)Technology Media-Sosial merupakan Fenomena zaman yang berdampak sosial. Mau tidak mau akan tumbuh dan berkembang Bagai jamur dimusim hujan, Gugur satu tumbuh Seribu, pada setiap Individu, Masyarakat, Bangsa atau Sebuah Negara.

Apalagi pada sebuah bangsa yang sedang membangun dirinya dengan menerapkan sistem ekonomi pasar, faktanya terjadi sangat signifikan Rising-Demand. Peminat membludak-Pesat dan Sesak-Menyesakkan.

Jadi kita tidak Perlu berkeok-keok atau Menggong-gong Gong-gong didalam memberantas Media Sosial bernuansa Kritik yang diangap Negatif, Propokatif, Kebencian “HOAX” secara total. Melalui penerapan hukum diera Demokrasi dengan Bonus Demografi, artinya para pengguna Media-Sosial saat ini lebih banyak didominasi oleh kalangan Kaum Milenial yang Penuh dengan Kritis.

Sebab yang dikriminalkan alam Pemikiran, terlebih-lagi dipidanakan dengan menggunakan Prinsip A. ad Libitium “Sesuka Hati, Mana Suka” untuk kepentingan Penguasa dengan Pilih-pilih Tebu dan Bisik-Bisik Tetangga, itu adalah sebuah keniscayaan, sama saja mengusik rasa Ketidak adilan bagi masyarakat, karena Demokrasi membutuhkan Transparansi, integritas dan akuntabiltas.

Alangkah arif dan bijaknya, jikalau kita mau mencoba memahami bahwa Media Sosial ini dengan Fikiran-fikiran jernih, Alias menggunakan akal sehat dan waras agar energi bangsa ini tidak terkuras.

Tentu kita sepakat, bahwa informasi busuk menyesatkan, yang berkembang dan tidak mencerdaskan, patut kita waspadai dan sebisa mungkin dibendung didalam penyebarannya.

Baca Juga :  Dewan Pers Menang, Mahkamah Konstitusi Tolak Seluruh Gugatan Uji Materiil UU Pers

Pertanyaannya, mana yang patut harus kita waspadai, apakah “Media sosial” Para buzzer Relawan Penguasa sebagai Pencitraan, yang justru seharusnya berperan sebagai Counter-Value bukan “Counter-Prankster” dan sebagai upaya untuk mereduksi efek-efek negatif.

Atau “Media-Sosial” ala trompet Rakyat, yaitu sebuah Reflekesi suara Kebatinan Rakyat itu sendiri dengan Kemurniannya sebagai Counter-Value wujud dari Perjuangan bambu runcing 1945 yang mengais Keadilan.

Bisa jadi mungkin cermin sosial masyarakat kita yang sudah Defisit Akal Sehat, yang krisis etika dan Moralitasnya karena terancam dengan perut Keroncongan.

Sadar atau dengan tujuan yang sadar, kalau kita mau menyadari dan mau menganalisa secara jujur. Bahwa sesungguhnya telah terjadi kerusakan karakter mentalitas Bangsa ini.

Akibatnya bangsa kita saat ini menjadi bangsa yang terpuruk, kurang beradab, kurang bermoral, bahkan menjunjung tinggi Nilai-nilai kejahatan.

Sebuah Bangsa yang karakternya Rusak, hanya akan mampu menghasilkan, hanya akan mampu memanifestasikan, para Pemimpin, Para Elite-Politik, Para Golongan, yang Dekadensi kehilangan Patriotisme, Nasionalisme tentu harga-diri sebuah bangsa yang memiliki harkat-Bermartabat yang Berdaulat, sesuai pengamalan Panca-Sila dan UUD 1945. Itulah sejatinya bangsa Indonesia yang Berbudi Luhur penuh tafakur.

Baca Juga :  TIM Solidaritas Galang Dana "Dani Banurea"

Kita sering melihat dan medengar “Mereka “Berbicara atas nama Rakyat, untuk Rakyat dan Demi-Rakyat. Dengan Jargon menjual Kemiskinan dan Penderitaan Rakyat tapi hanya untuk menipu sesama. maka saatnya Jangan percaya Politikus Busuk Kalo Bicara mulutnya Bau Zamban, Bukan Harum yang dihasilkan, tapi bau yang memualkan.

Ada juga mereka berbicara atas nama Agama, Untuk Agama, demi Agama dibawah keagungan Tuhan, seolah hanya dirinya saja yang masuk Syurga. Dengan menjual ayat-ayat suci, Dalil dan kaidah-Kaidah Kebenaran dengan memutar balikan untuk Pembenaran yang Keliru, yang ada hanya sebuah kemunafikan dan penistaan karena sebuah Jabatan.

Tanpa sadar, bahwa bangsa kita saat ini sudah terjangkit Epidemi Virus Hipokritisme yang penuh kepura-puraan dan Kemunafikan, atau Paradoks Global yang seolah-olah Benar namun secara Esensial tidak ada Nilai Kenenaran Hakiki. Hal itu justru lebih berbahaya dari pada Virus Covid-19, yang mematikan itu.

Inilah sesungguhnya Revolusi Mental bukan Revolusi Dangkal yang sering digembar-gemborkan para pesohor yang mabok kebanyakan Molor.

Jadi jangan sampai Technologi, Media Sosial hanya dijadikan sebagai sarana Kreatifitas dan aktualistas bagi masyarakat itu justru berubah menjadi Media Syok-Sial.

Sumber : Ketum KWRI/ Sekjen Majelis Pers.

Dilaporkan oleh : Redaksi Halopaginews