Klik Gambar
Jakarta,halopaginews.com
Di masa pandemi masih saja ada sekolah dan guru pendidik yang mementingkan materi dari pada hak-hak anak yang telah di lindungi dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak berpartisipasi.
Sekolah Menengah Kejurusan (SMK) Jayawisata 1 Jakarta (Jawis) yang berlokasi di Jalan Taman Sunda Kelapa No. 16A, Menteng, Jakarta Pusat ini di duga telah melanggar hak anak yang tercantum dalam UU Perlindungan Anak Indonesia.
Pasalnya, SMK Jawis yang merupakan sekolah swasta favorit di bilangan Menteng tersebut telah membuat aturan yang dinilai memberatkan bagi orangtua murid di masa pandemi Covid-19.
Terbukti dengan aturan yang dikeluarkannya, seperti mengijinkan anak didik yang dapat mengikuti ujian dengan syarat harus melunasi pembayaran SPP Bulan Maret-April, Melunasi uang BPP, dan membayar uang Wisuda yang tidak sedikit jumlahnya.
Sekolah swasta memang memiliki aturan sendiri dalam membuat ketentuan yang diberlakukan bagi orangtua murid dan anak didiknya, namun seharusnya aturan yang dibuat tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, khususnya Perlindungan Anak.
Seorang siswi kelas 12 AP SMK Jawis berinisial NA yang sedang melakukan ujian semester, dilarang mengikuti ujian sebelum memenuhi syarat tersebut. Sontak peristiwa ini membuat NA merasa terganggu sikisnya karena malu dengan teman-teman akibat tidak dapat mengikuti ujian seperti teman-teman sebangkunya.
Meskipun orangtua dari NA sudah melakukan komunikasi dengan pihak sekolah (dalam hal ini Wali Kelas dan Tata Usaha), namun seolah menemukan jalan buntu. Artinya tetap harus melakukan pembayaran terlebih dahulu baru NA dapat mengikuti ujian.
Ini jelas telah melanggar hak anak yang harus mendapatkan pendidikan, namun Wali Kelasnya yang bernama Firhad M Galung dan bagian Tata Usaha Yuli, terkesan tidak peduli dengan keadaan tersebut sebelum adanya dana yang masuk ke rekening sekolah.
Ketika dikonfirmasi kepada orangtua NA, ibunya merasa seolah di ping-pong dengan tidak memberikan solusi terbaik bagi anaknya untuk tetap mengikuti ujian.
“Saya sudah komunitasi dengan ibu Yuli bagian Tata Usaha, namun disuruh untuk berbicara dengan Wali Kelas. Ketika saya komunikasi dengan Wali Walikelasnya Pak Firhad, dia malah melempar omongan untuk saya komunikasi dengan bagian Tata Usaha. Ini membuat saya seperti dipermainkan, padahal saya sudah berjanji akan melakukan pembayaran minggu depan namun semua tiada arti,” jelasnya.
Orangtua NA juga mengatakan, bahwa dirinya dengan terpaksa untuk melakukan pinjaman online sebesar 1.5 juta untuk membayar BPP, dengan harapan agar anaknya dapat mengikuti ujian terlebih dahulu.
“Inikan masa sulit, semua orang mengalaminya. Dengan terpaksa saya harus melakukan pinjaman online agar anak saya dapat ikut ujian. Ketika saya sudah melakukan pembayaran BPP dari hasil pinjol, baru pihak mengijinkan anak saya untuk ikut ujian. Bagi ssya Jawis tidak memikirkan keadaan di masa pandemi, hanya ada uang baru masalah selesai. Bolehlah kalo saya punya tunggakan berbulan-bulan, inikan DPP Bulan Maret-April, dan uang Wisuda yang masih lama. Jika anak saya tidak di ijinkan ujian, gimana dia mau Wisuda,” keluhnya.
Ketika di konfirmasi oleh awak media ke bagian Tata Usaha SMK Jawis melalui via WhatsApp terkait Jawis telah melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan, Yuli (Tata Usaha) mengatakan jika Surat Edaran (SE) tersebut telah disampaikan kepada orangtua murid sebelum ujian berlangsung, dan dirinya mengakui bahwa Jawis merupakan sekolah swasta yang memiliki aturan sendiri.
“Setiap sekolah ada kegiatan, kami selalu memberikan Surat Edaran ke orangtua dan siswa/i. Sekolahkan juga punya peraturan, dan kami juga bukan sekolah negeri,” tulis Yuli.
Yuli juga menyarankan “apabila ada permasalahan dapat dikomunikasikan dengan Wali Kelasnya. Setiap ujian NA juga selalu di maklumi kok, tapi sekarang sudah Kelas XII, dan waktu rapat kenaikan sudah dijelaskan kok oleh Kepala Sekolah,” ucapnya.
Kejadian tersebut telah dilaporkan ke Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Pemberdaya Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) pimpinan Prof. Dr. Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto.
Setelah mengetahui peristiwa tersebut, Ketua Umum Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Kak Seto sangat menyayangkan masih ada sekolah yang diduga merenggut hak-hak anak. Sebagai penggiat anak yang sudah malang melintang, dirinya menyarankan untuk langsung melaporkan ke Kepala Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta.
“Hak-hak anak itu sudah dilindungi dalam UU Perlindungan Anak. Mau alasan apapun, anak tetap harus mendapatkan haknya dalam pendidikan, tidak peduli itu sekolah negeri atau swasta, bila telah melanggar hak anak harus di laporkan,” tegas Kak Seto.
Kak Seto juga menyarankan untuk orangtua segera mendatangi Kepala Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta. “Sekolah swasta boleh membuat aturan sendiri, namun bila aturannya melanggar UU Perlindungan Anak, itu tidak dibenarkan. Besok orangtua langsung menghadap Kepala Dinas Pendidikan, itu lamgsung ditindaklanjuti, bila ada kesulitan bisa hubungi saya kembali sekitar jam 10 atau 11,” imbuhnya.
Kak Seto juga menguraikan, bahwa seharusnya sekolah dapat mencari solusi terbaik agar anak dapat terus mengikuti ujian tanpa di ganggu dengan masalah administrasi.
“Sebenarnya sekolah harus tetap mengijinkan anak untuk tetap melaksanakan ujian terlebih dahulu sambil orangtua bersama pihak sekolah mencari solusi terbaik. Apalagi jika anak memiliki Kartu Jakarta Pintar (KJP), itu sebenarnya negara telah menjamin rakyatnya untuk mendapatkan pendidikan, jadi tidak usah khawatir jika tidak dibayarkan, semua hanya masalah waktu saja,” urainya.
Gus Windu, seorang yang memiliki hubungan dekat dengan orang nomor satu di DKI Jakarta (Gubernur) juga menghimbau agar masalah ini diteruskan hingga ke Pemprov, karena masalah Pendidikan juga merupakan program Pemprov DKI Jakarta.
“Sekolah yang seperti itu harus dilaporkan, karena itu jelas melanggar hak anak. Apalagi Pemprov juga memiliki program agar semua anak yang tidak dapat sekolah karena biaya, negara akan membayarkannya. Jika anak tidak memiliki KJP kita bisa ajukan ke BAZNAS agar dapat dibayarkan, yang tidak bisa ambil ijazah juga bisa kita bayarkan. Sekolah jangan hanya mementingkan uang saja, harusnya anak jangan dilarang untuk ikut ujian, nantikan bisa ditahan ijazahnya atau kartu KJP nya sebagai jaminan hingga semua biaya dilunasi, bukannya melarang siswanya untuk tidak boleh ujian. Laporkan saja masalah itu, nanti saya teruskan hingga ke Kepala Dinas Pendidikan,” saran Gus Windu melalui sambungan telephone dengan nada sedikit marah.
Kejadian seperti ini terkesan terus terulang dan mencederai Dunia Pendidikan. Negara harusnya memiliki aturan yang baku melalui Kementerian Pendidikan terhadap sekolah swasta yang kian menjamur.
Dinas Pendidikan harus dapat memberikan sangsi tegas terhadap sekolah yang dinilai telah melanggar hak anak dalam mendapatkan pendidikan, guna mencerdaskan Generasi Bangsa sesuai dengan amanah UUD 1945. Apalagi saat ini masih dalam masa pandemi degan PPKM Level 3 yang berimbas kepada semua lapisan masyarakat, justru saling memahami satu dengan yang lainnya dan toleransi bersama dapat melahirkan solusi terbaik tanpa harus mengorbankan generasi penerus bangsa.
(Lucky sun)